17 September 2017

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN SASTRA **



oleh : Dr. M. Rafiek, M. Pd. (Dosen Universitas Lambung Mangkurat) 


A. PENDAHULUAN 

Pengetahuan mengenai metode dan teknik penelitian sangat diperlukan dalam sebuah penelitian. Tanpa metode dan teknik penelitian yang tepat, tentu hasil yang diharapkan juga tidak akan kuat secara ilmiah. Metode dan teknik penelitian sangat penting dalam sebuah penelitian karena dia merupakan cara atau strategi dalam melakukan sebuah penelitian. 

Dalam penelitian, kita mengenal ada penelitian filologi, sastra bandingan, sosiologi sastra, psikologi sastra, hermeneutika, strukturalisme, antropologi sastra, resepsi sastra, feminisme, sastra lisan, poskolonial, studi budaya, dan lain-lain. Banyaknya jenis penelitian membuat masing-masing penelitian memiliki metode dan teknik yang berbeda pula. Pertanyaan yang mendasar terkait dengan metode dan teknik penelitian adalah apa perbedaan antara keduanya. 

Dahulu semasa saya kuliah S1, metode yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa dalam menyelesaikan skripsinya adalah metode deskriptif dengan teknik studi pustaka. Betulkah metode penelitian itu hanya satu saja dan teknik penelitian juga hanya satu saja? 

Stokes (2006: xi) membedakan metode penelitian atas dua besar, yaitu metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Menurut Stokes, penelitian kuantitatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pendekatan-pendekatan yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan alam dan kini digunakan secara luas dalam penelitian ilmu sosial. Metode-metode kuantitatif merupakan metode-metode yang didasarkan pada informasi numerik atau kuantitaskuantitas, dan biasanya diasosiasikan dengan analisis-analisis statistik. 

Dalam kajian-kajian media dan kebudayaan yang termasuk metode-metode kuantitatif adalah analisis isi, penelitian survey, dan beberapa jenis penelitian arsip. Penelitian kualitatif adalah nama yang diberikan bagi paradigma penelitian yang terutama berkepentingan dengan makna dan penafsiran. Metode ini merupakan khas ilmu-ilmu kemanusiaan dan banyak di antaranya seperti analisis naratif dan analisis genre telah dikembangkan untuk kajian sastra. Pendekatan-pendekatan penafsiran diturunkan dari kajiankajian sastra dan hermeneutika serta berkepentingan dengan evaluasi kritis terhadap teks-teks. Perbedaan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam dilihat dalam tabel di bawah ini. Kuantitatif Kualitatif Berkepentingan dengan Angka Makna Berakar dalam Ilmu sosial Ilmu-ilmu kemanusiaan Epistemologi Positivis Empiris Humanis Interpretatif Khas dari Komunikasi massa Kajian-kajian kebudayaan Metode akar Survei hermeneutika 

B. METODE PENELITIAN SASTRA

Metode Objek-Objek Analisis Analisis isi Seberapa banyak sesuatu terjadi dalam sebuah rangkaian teks Semiotika Makna sebuah teks atau sebuah rangkaian teks Analisis naratif Struktur naratif sebuah teks atau sebuah rangkaian teks Studi genre Sekelompok teks untuk jenis yang sama atau genre Analisis isi adalah metode paling empiris dalam analisis tekstual, yaitu sebuah metode yang bersandar pada pengumpulan informasi numerik mengenai teks yang diteliti. Analisis isi semestinya digunakan jika objek analisis adalah beberapa jenis teks dan pertanyaannya adalah tentang kuantitas. 

Jika anda tertarik untuk meneliti makna teks atau citra, semiotika lebih tepat digunakan. Metode ini memungkinkan anda mengembangkan penafsiran sendiri terhadap objek analisis dengan memecahkan atau menjabarkan teks menjadi komponen-komponen unit makna. Semiotika sering digunakan bersama-sama analisis isi untuk mendapatkan suatu analisis yang mendalam dari serangkaian teks, analisis isi dapat memberikan suatu nilai terhadap seberapa banyak sesuatu terjadi, sedangkan semiotika memasok sejumlah penafsiran. 

Jika anda tertarik untuk meneliti sifat kisah yang diceritakan mengenai suatu tokoh, metode yang bagus untuk digunakan adalah analisis naratif. Jika minat anda terutama berfokus pada alur atau garis besar cerita, semestinya anda memilih analisis naratif. Dalam pembahasan di bawah ini, saya hanya menjelaskan beberapa metode penelitian sastra yang sering digunakan, yaitu analisis isi, analisis naratif, . 

C. ANALISIS ISI 

Analisis isi berhubungan dengan penghitungan fenomena di dalam teks. Analisis isi termasuk bagian dari “metode kuantitatif” karena melibatkan penghitungan dan penjumlahan fenomena. Namun dapat juga digunakan untuk mendukung kajian-kajian mengenai sesuatu yang sifatnya lebih “kualitatif”. Analisis isi, menurut Krippendorff (1980) adalah sebuah metode simbolik karena digunakan untuk meneliti materi (teks) yang bersifat simbolik. 

Dalam melaksanakan analisis isi, terdapat banyak pekerjaan interpretatif yang harus dilakukan, yang bersandar pada pengetahuan peneliti mengenai teks yang sedang diteliti. Analisis isi memungkinkan anda untuk menghasilkan fakta-fakta dan angka-angka yang dapat digunakan sebagai bukti argumen anda. Anda bisa menghitung jumlah kisah, jumlah citra, atau kejadian-kejadian yang disebutkan oleh subjek-subjek tertentu. Analisis isi bersifat fleksibel, kreatif, dan mudah dilaksanakan oleh seorang peneliti pemula. Teknik analisis isi meliputi serangkaian tahapan yang harus dilewati dalam melakukan penelitian. 

Adapun teknik analisis isi itu melalui tahapan 
  1. menyusun hipotesis, 
  2. membaca sebanyak mungkin, 
  3. mendefinisikan objek analisis, 
  4. mendefinisikan kategori-kategori, 
  5. membuat sebuah lembar koding untuk merekam temuan-temuan, 
  6. menguji kategori-kategori koding, 
  7. mengumpulkan data, 
  8. menjumlahkan temuan-temuan anda, 
  9. menafsirkan data, 
  10. menghubungkan kembali dengan pertanyaan, 
  11. menampilkan temuan-temuan, 
  12. menganalisis dan membahasnya, 
  13. menjumlahkan persentase, dan mengkombinasikan analisis isi dengan metode-metode lain. 
Analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat tiru dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Krippendorff, 1991: 15). 

Dalam melakukan analisis isi, minat dan pengetahuan analis menentukan konstruksi konteks untuk menarik inferensi. Janis (1965) mengajukan klasifikasi analisis isi sebagai berikut. 

1. Analisis isi pragmatis adalah prosedur yang mengklasifikasikan tanda menurut sebab atau akibatnya yang mungkin. 

2. Analisis isi semantik adalah prosedur yang mengklasifikasikan tanda menurut maknanya. 
  • Analisis penunjukan menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu (orang, benda, kelompok, atau konsep) dirujuk. Analisis ini secara kasar disebut analisis pokok bahasan. 
  • Analisis pensifatan menggambarkan frekuensi seberapa sering karakterisasi tertentu dirujuk. 
  • Analisis pernyataan menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu dikarakterisasikan secara khusus. Analisis ini secara kasar disebut analisis tematik. 
3. Analisis sarana tanda adalah prosedur yang mengklasifikasikan isi menurut sifat psikofisik dari tanda. 

Holsti (1969) menempatkan data dalam konteks komunikasi antara pengirim dan penerima pesan dan memandang analisis isi dalam kaitannya dengan tiga tujuan pokok, yaitu: 
  1. Mendeskripsikan karakteristik-karakteristik komunikasi dengan mengajukan pertanyaan apa, bagaimana, kepada siapa sesuatu dikatakan. 
  2. Membuat inferensi-inferensi mengenai anteseden-anteseden komunikasi dengan mengajukan pertanyaan dengan mengajukan pertanyaan kenapa sesuatu dikatakan. 
  3. Membuat inferensi-inferensi mengenai akibat-akibat komunikasi dengan mengajukan pertanyaan akibat apa yang akan terjadi jika sesuatu dikatakan. Langkah-langkah analisis isi secara sederhana dapat dimulai dari pembentukan data, unitisasi, sampling, pencatatan, reduksi data, penarikan inferensi, dan analisis. 
D. SEMIOTIKA 

Semiotika (secara harfiah berarti “ilmu tentang tanda”) bermanfaat pada saat kita ingin menganalisis makna teks. Semiotika semula diturunkan dari buku karya Ferdinand de Saussure yang berjudul Course in General Linguistics. Saussure merasa yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah besar “sistem tanda”. Roland Barthes kemudian mengembangkan gagasan-gagasan Saussure itu menjadi lebih luas lagi. Semiotika adalah salah satu metode yang paling interpretative dalam menganalisis teks dan keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bergantung pada baik tidaknya peneliti dalam mengartikulasikan masalah yang mereka teliti. 

Teknik analisis semiotika meliputi tahapan-tahapan, yaitu 
(1) mendefinisikan objek analisis, 
(2) mengumpulkan teks, 
(3) menjelaskan teks, 
(4) menafsirkan teks, 
(5) menjelaskan kode-kode kultural, 
(6) membuat generalisasi, 
(7) membuat kesimpulan, dan 
(8) mengombinasikan semiotika dengan metode analisis lainnya. 

E. ANALISIS NARATIF 

Stokes (2006: 72) menjelaskan bahwa dalam analisis naratif, kita mengambil keseluruhan teks sebagai objek analisis, berfokus pada struktur kisah atau narasi. Analisis naratif adalah sebuah metode yang kuat untuk menganalisis teks. Analisis naratif dapat dijadikan cara untuk meneliti sebuah teks dan menemukan ideologi di balik struktur sastra. 

Teknik analisis naratif meliputi tahapan-tahapan, yaitu 
(1) memilih teks dengan cermat, 
(2) mengakrabi teks tersebut dengan membacanya berulang kali, 
(3) mendefinisikan hipotesis, 
(4) menuliskan kerangka alur seperti tergambar di dalam teks, 
(5) menggunakan garis besar alur dan menuangkan kisahnya secara kronologis, 
(6) mengidentifikasi keseimbangan pada awal dan akhir teks, 
(7) mendefinisikan karakter sesuai dengan fungsi mereka di dalam alur, 
(8) mengaitkan temuan-temuan dengan hipotesis. 

F. STUDI GENRE UNTUK KAJIAN FILM

 Dalam kajian-kajian film, penelitian genre mengkaji film dengan menghubungkannya pada film-film yang lain dalam genre yang sama. Film-film sering dikaji berdasarkan genrenya: musikal, barat, komedi romantis, dan lain-lain. Genre adalah sebuah kategori semiotik yang di dalamnya terdapat kode-kode dan konvensi-konvensi yang dimiliki oleh film-film dalam sebuah genre yang sama, misalnya unsur-unsur seperti lokasi, gaya, dan lain-lain. Genre juga merupakan kategori naratif, misalnya struktur gadis bertemu jejaka dalam film-film romance selalu merupakan struktur dari semua film dalam genre itu. Saya pernah membaca novel The Last Samurai dan Laskar Pelangi ternyata isinya sama-sama berjuang untuk mencapai prestasi yang gemilang pada usia muda. Saya juga pernah menonton film India yang dibintangi oleh Govinda yang berperan ganda sebagai kakak dan adik yang hampir sama alurnya dengan film Mandarin yang saya sudah lupa judulnya. 

G. METODE PENELITIAN SASTRA LISAN 

Di Kalimantan Tengah, penelitian sastra lisan sangat banyak yang bisa dilakukan dan diangkat ke permukaan. Di Kalimantan Tengah, terdapat naskah Karungut, Tumet Leut, Bapa Paloi, dan lain-lain. Untuk itu, pengetahuan tentang metode penelitian sastra lisan sangat penting disajikan. Dalam metode penelitian sastra lisan terdapat teknik pengumpulan data yang berupa pencatatan, perekaman, wawancara, pengamatan berperan serta, dan analisis dokumen. Kalau dahulu perekaman hanya menggunakan tape recorder, sekarang kita bisa menggunakan handycam atau kamera digital atau kamera handphone. 

Secara sederhana, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah 
  1. Perekaman sastra lisan dalam seni pertunjukan atau tradisi lisan, 
  2. Pengumpulan data berupa komentar pemilik sastra lisan dengan wawancara dan observasi partisipasi, 
  3. Transkripsi rekaman sastra lisan dan data berupa fragmentasi hasil wawancara dan observasi partisipasi, dan 
  4. Apresiasi bersama-sama tentang hasil rekaman. 
H. METODE PENELITIAN HERMENEUTIKA

Dalam pengkajian sastra juga terdapat metode penelitian hermeneutika. Dalam ranah hermeneutika terdapat hermeneutika Schleirmaicher, Dilthey, Gadamer, Ricoeur. Dalam kesempatan ini, penulis hanya akan memperkenalkan hermeneutika Ricouer saja karena hermeneutika ini paling sering digunakan untuk mengkaji teks-teks sastra. 

Menurut Ricoeur (Sumaryono, 1999: 111), ada tiga langkah pemahaman yang patut ditekankan. Pertama, berlangsung mulai penghayatan simbol-simbol tentang “berpikir dari” simbol-simbol tersebut. Kedua, pemberian makna simbol dan penggalian makna yang tepat. Ketiga, berpikir filosofis, yaitu menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut tidak akan terlepas dari pemahaman semantik, refleksi, dan eksistensial. Langkah semantik adalah pemahaman tingkat bahasa murni. Pemahaman refleksi adalah pemahaman yang mendekati tingkah ontologism. Pemahaman eksistensial adalah pemahaman tingkat being (keberadaan) makna itu sendiri. 

I. METODE GROUNDED RESEARCH 

Daymon dan Holloway (2008: 180-181) mendefinisikan grounded research sebagai sebuah pendekatan yang refleksif dan terbuka, di mana pengumpulan data, pengembangan konsep-konsep teoretis, dan ulasan literatur berlangsung dalam proses siklis (berkelanjutan). 

Ada tiga aspek yang membedakan grounded research dengan pendekatan lainnya, yaitu: 
  1. Peneliti mengikuti prosedur analitik sistematik dalam sebagian besar pendekatan. Grounded research lebih terstruktur dalam proses pengumpulan data dan analisisnya. 
  2. Peneliti memasuki proses riset dengan membawa sesedikit mungkin asumsi. 
  3. Peneliti tidak semata-mata bertujuan untuk menguraikan atau menjelaskan tetapi juga mengonseptualisasikan.Mereka akan berupaya keras untuk menghasilkan dan mengembangkan teori. 
Pendekatan grounded research memungkin kita untuk melakukan riset prosesual, yaitu riset yang berfokus pada “rangkaian peristiwa, tindakan, dan aktivitas individual maupun kolektif yang berkembang dari waktu ke waktu dalam konteks tertentu. Grounded research berpotensi memberi pemahaman tentang lahirnya suatu karya sastra, seperti bagaimana Laskar Pelangi ditulis oleh Andrea Hirata. 

Secara sederhana, penelitian sastra dengan metode grounded dilakukan melalui prosedur sebagai berikut.
  1.  Peneliti menentukan persoalan yang ingin diketahui. 
  2. Peneliti bertanya kepada para pengarang tersebut mengenai makna karya itu beserta selukbeluk segala hal yang berhubungan dengannya. 
  3. Peneliti membangun kategori-kategori berdasarkan hasil (data). 
  4. Peneliti mencoba memahami teks atas dasar kategori dan mencatat beberapa permasalahan yang tidak terjelaskan. 
  5. Peneliti kembali ke lapangan, artinya kembali berhubungan dengan pengarang dengan tujuan menemukan pemikiran pengarang yang mungkin sengaja disembunyikan. 
  6. Setelah mendapat hasil berupa data dari langkah 5, peneliti kembali ke teks untuk memahami teks itu atas dasar tambahan pengetahuan yang baru diperolehnya. 
  7. Kalau langkah 6 telah menghasilkan pemahaman yang menyeluruh mengenai teks sastra, penelitian dapat langsung dilanjutkan dengan membuat laporan penelitian, akan tetapi jika tidak, peneliti harus kembali lagi ke lapangan menghubungi pengarang. 
J. METODE KRITIK SASTRA FEMINIS 

Kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulispenulis wanita di masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, dan disepelekan oleh tradisi patriarchal yang dominan (Djajanegara, 2003: 27). 

Kritik sastra feminis yang paling banyak digunakan adalah kritik ideologis. Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita adalah citra dan stereotip wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalam kritik sastra. Kritik sastra feminis ragam lain adalah kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita. 

Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan wanita. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis wanita, profesi penulis wanita sebagai suatu organisasi, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis wanita. Jenis kritik sastra feminis ini dinamakan ginokritik yang mengkhususkan pada masalah perbedaan. 

Ginokritik mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah penulis-penulis wanita merupakan kelompok khusus dan apa perbedaan antara tulisan wanita dan pria? Kritik sastra feminis-sosialis atau kritik sastra feminis Marxis meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas. 

Kritik sastra feminis psikoanalitik diterapkan pada tulisan-tulisan wanita karena para feminis percaya bahwa wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya. 

Menurut Djajanegara (2003: 51-53), langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam melakukan kritik sastra feminis adalah: 
  1. Mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita dalam sebuah karya sastra. 
  2. Mencari kedudukan tokoh-tokoh itu dalam masyarakat. 
  3. Mencari tahu tujuan hidupnya. 
  4. Mencari tahu perilaku dan wawasan tokoh perempuan dari gambaran yang langsung diberikan oleh pengarang. 
  5. Memperhatikan pendirian dan ucapan tokoh wanita yang bersangkutan. 
  6. Meneliti tokoh lain terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang kita amati. 
  7. Mengamati sikap penulis karya yang sedang kita kaji. 
K. PENUTUP 

Metode penelitian sastra yang disajikan dalam makalah adalah metode yang sering digunakan dalam kajian-kajian sastra di Indonesia. Sekalipun metode penelitian sastra ini mengacu pada Barat, akan tetapi tetap bagus untuk coba diterapkan dalam penelitian sastra di Indonesia. Saya berharap metode penelitian sastra ini dapat diterapkan oleh para peneliti di Balai Bahasa Palangka Raya. 

DAFTAR PUSTAKA 

Daymon, Christine dan Holloway, Immy. 2008. Metode-Metode Riset Kualitatif. Terjemahan oleh Cahya Wiratama. Yogyakarta: Bentang. 

Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis, Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 

Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo. 

Holsti, O. R. 1969. Content Analysis for the Social Sciences and Humanities. Reading, MA: Addison-Wesley. 

Janis, I. L. 1965. The Problem of Validating Content Analysis. Dalam H. D. Lasswell dan kawan-kawan (Eds.)., Language of Politics. Hal. 55-82. Cambridge: MIT Press. 

Krippendorf, Klaus. 1980. Content Analysis, An Introduction to Its Methodology. California: Sage Publications Ltd. 

Stokes, Jane. 2006. How To Do Media and Cultural Studies. Terjemahan oleh Santi Indra Astuti. Yogyakarta: Bentang. 

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

**Makalah disajikan pada kegiatan Pencerapan Teknik dan Metode Penelitian yang dilaksanakan 6-8 November 2011 di Hotel Amaris Palangka Raya yang diadakan oleh Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah. 2 Dosen S1, S2, dan S3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Alumnus program Doktor Universitas Negeri Malang bulan Januari 2010 dengan disertasi berjudul Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar. Bukunya yang telah diterbitkan Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik (Refika Aditama, Bandung, 2010 dan Transformasi Kisah Nabi dan Rosul dalam Hikayat Raja Banjar dan Kota Waringin (Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2011). media dan kebudayaan, metode-metode kuantitatif lazim diasosiasikan dengan kajian komunikasi massa yang berasal dari Amerika. 

Gambaran Umum Ilmu Bahasa (Linguistik)


Oleh: Deny A. Kwary

I. Pendahuluan

Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai ‘ilmu bahasa’ atau ‘studi ilmiah mengenai bahasa’ (Matthews 1997). Dalam The New Oxford Dictionary of English (2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut:
The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics.”
Program studi Ilmu Bahasa mulai jenjang S1 sampai S3, bahkan sampai post-doctoral program telah banyak ditawarkan di universitas terkemuka, seperti  University of California in Los Angeles (UCLA), Harvard University, Massachusett Institute of Technology (MIT), University of Edinburgh, dan Oxford University. Di Indonesia, paling tidak ada dua universitas yang membuka program S1 sampai S3 untuk ilmu bahasa, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Katolik Atma Jaya.

II. Sejarah Perkembangan Ilmu Bahasa

Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang bahasa sejak zaman Yunani (abad 6 SM). Secara garis besar studi tentang bahasa dapat dibedakan antara (1) tata bahasa tradisional dan (2) linguistik modern.
2. 1 Tata Bahasa Tradisional
Pada zaman Yunani para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Tetapi mengenai hakikat bahasa – apakah bahasa mirip realitas atau tidak – mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles.
Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis; pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti oleh kaum konvensionalis. Perbedaan pendapat ini juga merambah ke masalah keteraturan (regular) atau ketidakteraturan (irregular) dalam bahasa. Kelompok penganut pendapat adanya keteraturan bahasa adalah kaum analogis yang pandangannya tidak berbeda dengan kaum naturalis; sedangkan kaum anomalis yang berpendapat adanya ketidakteraturan dalam bahasa mewarisi pandangan kaum konvensionalis. Pandangan kaum anomalis mempengaruhi pengikut aliran Stoic. Kaum Stoic lebih tertarik pada masalah asal mula bahasa secara filosofis. Mereka membedakan adanya empat jenis kelas kata, yakni nomina, verba, konjungsi dan artikel.
Pada awal abad 3 SM studi bahasa dikembangkan di kota Alexandria yang merupakan koloni Yunani. Di kota itu dibangun perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan. Para ahli dari kota itu yang disebut kaum Alexandrian meneruskan pekerjaan kaum Stoic, walaupun mereka sebenarnya termasuk kaum analogis. Sebagai kaum analogis mereka mencari keteraturan dalam bahasa dan berhasil membangun pola infleksi bahasa Yunani. Apa yang dewasa ini disebut "tata bahasa tradisional" atau " tata bahasa Yunani" , penamaan itu tidak lain didasarkan pada hasil karya kaum Alexandrian ini.
Salah seorang ahli bahasa bemama Dionysius Thrax (akhir abad 2 SM) merupakan orang pertama yang berhasil membuat aturan tata bahasa secara sistematis serta menambahkan kelas kata adverbia, partisipel, pronomina dan preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah dibuat oleh kaum Stoic. Di samping itu sarjana ini juga berhasil mengklasifikasikan kata-kata bahasa Yunani menurut kasus, jender, jumlah, kala, diatesis (voice) dan modus.
Pengaruh tata bahasa Yunani sampai ke kerajaan Romawi. Para ahli tata bahasa Latin mengadopsi tata bahasa Yunani dalam meneliti bahasa Latin dan hanya melakukan sedikit modifikasi, karena kedua bahasa itu mirip. Tata bahasa Latin dibuat atas dasar model tata bahasa Dionysius Thrax. Dua ahli bahasa lainnya, Donatus (tahun 400 M) dan Priscian (tahun 500 M) juga membuat buku tata bahasa klasik dari bahasa Latin yang berpengaruh sampai ke abad pertengahan.
Selama abad 13-15 bahasa Latin memegang peranan penting dalam dunia pendidikan di samping dalam agama Kristen. Pada masa itu gramatika tidak lain adalah teori tentang kelas kata. Pada masa Renaisans bahasa Latin menjadi sarana untuk memahami kesusastraan dan mengarang. Tahun 1513 Erasmus mengarang tata bahasa Latin atas dasar tata bahasa yang disusun oleh Donatus.
Minat meneliti bahasa-bahasa di Eropa sebenarnya sudah dimulai sebelum zaman Renaisans, antara lain dengan ditulisnya tata bahasa Irlandia (abad 7 M), tata bahasa Eslandia (abad 12), dan sebagainya. Pada masa itu bahasa menjadi sarana dalam kesusastraan, dan bila menjadi objek penelitian di universitas tetap dalam kerangka tradisional. Tata bahasa dianggap sebagai seni berbicara dan menulis dengan benar. Tugas utama tata bahasa adalah memberi petunjuk tentang pemakaian "bahasa yang baik" , yaitu bahasa kaum terpelajar. Petunjuk pemakaian "bahasa yang baik" ini adalah untuk menghindarkan terjadinya pemakaian unsur-unsur yang dapat "merusak" bahasa seperti kata serapan, ragam percakapan, dan sebagainya.
Tradisi tata bahasa Yunani-Latin berpengaruh ke bahasa-bahasa Eropa lainnya. Tata bahasa Dionysius Thrax pada abad 5 diterjemahkan ke dalam bahasa Armenia, kemudian ke dalam bahasa Siria. Selanjutnya para ahli tata bahasa Arab menyerap tata bahasa Siria.
Selain di Eropa dan Asia Barat, penelitian bahasa di Asia Selatan yang perlu diketahui adalah di India dengan ahli gramatikanya yang bemama Panini (abad 4 SM). Tata bahasa Sanskrit yang disusun ahli ini memiliki kelebihan di bidang fonetik. Keunggulan ini antara lain karena adanya keharusan untuk melafalkan dengan benar dan tepat doa dan nyanyian dalam kitab suci Weda.
Sampai menjelang zaman Renaisans, bahasa yang diteliti adalah bahasa Yunani, dan Latin. Bahasa Latin mempunyai peran penting pada masa itu karena digunakan sebagai sarana dalam dunia pendidikan, administrasi dan diplomasi internasional di Eropa Barat. Pada zaman Renaisans penelitian bahasa mulai berkembang ke bahasa-bahasa Roman (bahasa Prancis, Spanyol, dan Italia) yang dianggap berindukkan bahasa Latin, juga kepada bahasa-bahasa yang nonRoman seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Swedia, dan Denmark.

2. 2 Linguistik Modern
2. 2. 1 Linguistik Abad 19
Pada abad 19 bahasa Latin sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam pemerintahan atau pendidikan. Objek penelitian adalah bahasa-bahasa yang dianggap mempunyai hubungan kekerabatan atau berasal dari satu induk bahasa. Bahasa-bahasa dikelompokkan ke dalam keluarga bahasa atas dasar kemiripan fonologis dan morfologis. Dengan demikian dapat diperkirakan apakah bahasa-bahasa tertentu berasal dari bahasa moyang yang sama atau berasal dari bahasa proto yang sama sehingga secara genetis terdapat hubungan kekerabatan di antaranya. Bahasa-bahasa Roman, misalnya secara genetis dapat ditelusuri berasal dari bahasa Latin yang menurunkan bahasa Perancis, Spanyol, dan Italia.
Untuk mengetahui hubungan genetis di antara bahasa-bahasa dilakukan metode komparatif. Antara tahun 1820-1870 para ahli linguistik berhasil membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologisnya. Pada tahun 1870 itu para ahli bahasa dari kelompok Junggramatiker atau Neogrammarian berhasil menemukan cara untuk mengetahui hubungan kekerabatan antarbahasa berdasarkan metode komparatif.
Beberapa rumpun bahasa yang berhasil direkonstruksikan sampai dewasa ini antara lain:
1.      Rumpun Indo-Eropa: bahasa Jerman, Indo-Iran, Armenia, Baltik, Slavis, Roman, Keltik, Gaulis.
2.      Rumpun Semito-Hamit: bahasa Arab, Ibrani, Etiopia.
3.      Rumpun Chari-Nil; bahasa Bantu, Khoisan.
4.      Rumpun Dravida: bahasa Telugu, Tamil, Kanari, Malayalam.
5.      Rumpun Austronesia atau Melayu-Polinesia: bahasa Melayu, Melanesia, Polinesia.
6.      Rumpun Austro-Asiatik: bahasa Mon-Khmer, Palaung, Munda, Annam.
7.      Rumpun Finno-Ugris: bahasa Ungar (Magyar), Samoyid.
8.      Rumpun Altai: bahasa Turki, Mongol, Manchu, Jepang, Korea.
9.      Rumpun Paleo-Asiatis: bahasa-bahasa di Siberia.
10.  Rumpun Sino-Tibet: bahasa Cina, Thai, Tibeto-Burma.
11.  Rumpun Kaukasus: bahasa Kaukasus Utara, Kaukasus Selatan.
12.  Bahasa-bahasa Indian: bahasa Eskimo, Maya Sioux, Hokan
13.  Bahasa-bahasa lain seperti bahasa di Papua, Australia dan Kadai.
Ciri linguistik abad 19 sebagai berikut:
1)          Penelitian bahasa dilakukan terhadap bahasa-bahasa di Eropa, baik bahasa-bahasa Roman maupun nonRoman.
2)          Bidang utama penelitian adalah linguistik historis komparatif. Yang diteliti adalah hubungan kekerabatan dari bahasa-bahasa di Eropa untuk mengetahui bahasa-bahasa mana yang berasal dari induk yang sama. Dalam metode komparatif itu diteliti perubahan bunyi kata-kata dari bahasa yang dianggap sebagai induk kepada bahasa yang dianggap sebagai keturunannya. Misalnya perubahan bunyi apa yang terjadi dari kata barang, yang dalam bahasa Latin berbunyi causa menjadi chose dalam bahasa Perancis, dan cosa dalam bahasa Italia dan Spanyol.
3)          Pendekatan bersifat atomistis. Unsur bahasa yang diteliti tidak dihubungkan dengan unsur lainnya, misalnya penelitian tentang kata tidak dihubungkan dengan frase atau kalimat.

2. 2. 2 Linguistik Abad 20
Pada abad 20 penelitian bahasa tidak ditujukan kepada bahasa-bahasa Eropa saja, tetapi juga kepada bahasa-bahasa yang ada di dunia seperti di Amerika (bahasa-bahasa Indian), Afrika (bahasa-bahasa Afrika) dan Asia (bahasa-bahasa Papua dan bahasa banyak negara di Asia). Ciri-cirinya:
1)      Penelitian meluas ke bahasa-bahasa di Amerika, Afrika, dan Asia.
2)      Pendekatan dalam meneliti bersifat strukturalistis, pada akhir abad 20 penelitian yang bersifat fungsionalis juga cukup menonjol.
3)      Tata bahasa merupakan bagian ilmu dengan pembidangan yang semakin rumit. Secara garis besar dapat dibedakan atas mikrolinguistik, makro linguistik, dan sejarah linguistik.
4)      Penelitian teoretis sangat berkembang.
5)      Otonomi ilmiah makin menonjol, tetapi penelitian antardisiplin juga berkembang.
6)      Prinsip dalam meneliti adalah deskripsi dan sinkronis
Keberhasilan kaum Junggramatiker merekonstruksi bahasa-bahasa proto di Eropa mempengaruhi pemikiran para ahli linguistik abad 20, antara lain Ferdinand de Saussure. Sarjana ini tidak hanya dikenal sebagai bapak linguistik modern, melainkan juga seorang tokoh gerakan strukturalisme. Dalam strukturalisme bahasa dianggap sebagai sistem yang berkaitan (system of relation). Elemen-elemennya seperti kata, bunyi saling berkaitan dan bergantung dalam membentuk sistem tersebut.
Beberapa pokok pemikiran Saussure:
(1)   Bahasa lisan lebih utama dari pada bahasa tulis. Tulisan hanya merupakan sarana yang mewakili ujaran.
(2)   Linguistik bersifat deskriptif, bukan preskriptif seperti pada tata bahasa tradisional. Para ahli linguistik bertugas mendeskripsikan bagaimana orang berbicara dan menulis dalam bahasanya, bukan memberi keputusan bagaimana seseorang seharusnya berbicara.
(3)   Penelitian bersifat sinkronis bukan diakronis seperti pada linguistik abad 19. Walaupun bahasa berkembang dan berubah, penelitian dilakukan pada kurun waktu tertentu.
(4)   Bahasa merupakan suatu sistem tanda yang bersisi dua, terdiri dari signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Keduanya merupakan wujud yang tak terpisahkan, bila salah satu berubah, yang lain juga berubah.
(5)   Bahasa formal maupun nonformal menjadi objek penelitian.
(6)   Bahasa merupakan sebuah sistem relasi dan mempunyai struktur.
(7)   Dibedakan antara bahasa sebagai sistem yang terdapat dalam akal budi pemakai bahasa dari suatu kelompok sosial (langue) dengan bahasa sebagai manifestasi setiap penuturnya (parole).
(8)   Dibedakan antara hubungan asosiatif dan sintagmatis dalam bahasa. Hubungan asosiatif atau paradigmatis ialah hubungan antarsatuan bahasa dengan satuan lain karena ada kesamaan bentuk atau makna. Hubungan sintagmatis ialah hubungan antarsatuan pembentuk sintagma dengan mempertentangkan suatu satuan dengan satuan lain yang mengikuti atau mendahului.
Gerakan strukturalisme dari Eropa ini berpengaruh sampai ke benua Amerika. Studi bahasa di Amerika pada abad 19 dipengaruhi oleh hasil kerja akademis para ahli Eropa dengan nama deskriptivisme. Para ahli linguistik Amerika mempelajari bahasa-bahasa suku Indian secara deskriptif dengan cara menguraikan struktur bahasa. Orang Amerika banyak yang menaruh perhatian pada masalah bahasa. Thomas Jefferson, presiden Amerika yang ketiga (1801-1809), menganjurkan agar supaya para ahli linguistik Amerika mulai meneliti bahasa-bahasa orang Indian. Seorang ahli linguistik Amerika bemama William Dwight Whitney (1827-1894) menulis sejumlah buku mengenai bahasa, antara lain Language and the Study of Language (1867).
Tokoh linguistik lain yang juga ahli antropologi adalah Franz Boas (1858-1942). Sarjana ini mendapat pendidikan di Jerman, tetapi menghabiskan waktu mengajar di negaranya sendiri. Karyanya berupa buku Handbook of American Indian languages (1911-1922) ditulis bersama sejumlah koleganya. Di dalam buku tersebut terdapat uraian tentang fonetik, kategori makna dan proses gramatikal yang digunakan untuk mengungkapkan makna. Pada tahun 1917 diterbitkan jurnal ilmiah berjudul International Journal of American Linguistics.
Pengikut Boas yang berpendidikan Amerika, Edward Sapir (1884-1939), juga seorang ahli antropologi dinilai menghasilkan karya-karya yang sangat cemerlang di bidang fonologi. Bukunya, Language (1921) sebagian besar mengenai tipologi bahasa. Sumbangan Sapir yang patut dicatat adalah mengenai klasifikasi bahasa-bahasa Indian.
Pemikiran Sapir berpengaruh pada pengikutnya, L. Bloomfield (1887-1949), yang melalui kuliah dan karyanya mendominasi dunia linguistik sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1914 Bloomfield menulis buku An Introduction to Linguistic Science. Artikelnya juga banyak diterbitkan dalam jurnal Language yang didirikan oleh Linguistic Society of America tahun 1924. Pada tahun 1933 sarjana ini menerbitkankan buku Language yang mengungkapkan pandangan behaviorismenya tentang fakta bahasa, yakni stimulus-response atau rangsangan-tanggapan. Teori ini dimanfaatkan oleh Skinner (1957) dari Universitas Harvard dalam pengajaran bahasa melalui teknik drill.
Dalam bukunya Language, Bloomfield mempunyai pendapat yang bertentangan dengan Sapir. Sapir berpendapat fonem sebagai satuan psikologis, tetapi Bloomfield berpendapat fonem merupakan satuan behavioral. Bloomfield dan pengikutnya melakukan penelitian atas dasar struktur bahasa yang diteliti, karena itu mereka disebut kaum strukturalisme dan pandangannya disebut strukturalis.
Bloomfield beserta pengikutnya menguasai percaturan linguistik selama lebih dari 20 tahun. Selama kurun waktu itu kaum Bloomfieldian berusaha menulis tata bahasa deskriptif dari bahasa-bahasa yang belum memiliki aksara. Kaum Bloomfieldian telah berjasa meletakkan dasar-dasar bagi penelitian linguistik di masa setelah itu.
Bloomfield berpendapat fonologi, morfologi dan sintaksis merupakan bidang mandiri dan tidak berhubungan. Tata bahasa lain yang memperlakukan bahasa sebagai sistem hubungan adalah tata bahasa stratifikasi yang dipelopori oleh S.M. Lamb. Tata bahasa lainnya yang memperlakukan bahasa sebagai sistem unsur adalah tata bahasa tagmemik yang dipelopori oleh K. Pike. Menurut pendekatan ini setiap gatra diisi oleh sebuah elemen. Elemen ini bersama elemen lain membentuk suatu satuan yang disebut tagmem.
            Murid Sapir lainnya, Zellig Harris, mengaplikasikan metode strukturalis ke dalam analisis segmen bahasa. Sarjana ini mencoba menghubungkan struktur morfologis, sintaktis, dan wacana dengan cara yang sama dengan yang dilakukan terhadap analisis fonologis. Prosedur penelitiannya dipaparkan dalam bukunya Methods in Structural Linguistics (1951).
            Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah Noam Chomsky. Sarjana inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui bukunya Syntactic Structures (1957), yang kemudian disebut classical theory. Dalam perkembangan selanjutnya, teori transformasi dengan pokok pikiran kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya melalui Aspects of the Theory of Syntax (1965) disebut standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif (generative syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard theory. Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis buku generative semantics; tahun 1980 government and binding theory; dan tahun 1993 Minimalist program.

III. Paradigma

Kata paradigma diperkenalkan oleh Thomas Khun pada sekitar abad 15. Paradigma adalah prestasi ilmiah yang diakui pada suatu masa sebagai model untuk memecahkan masalah ilmiah dalam kalangan tertentu. Paradigma dapat dikatakan sebagai norma ilmiah. Contoh paradigma yang mulai tumbuh sejak zaman Yunani tetapi pengaruhnya tetap terasa sampai zaman modern ini adalah paradigma Plato dan paradigma Aristoteles. Paradigma Plato berintikan pendapat Plato bahwa bahasa adalah physei atau mirip dengan realitas, disebut juga non-arbitrer atau ikonis. Paradigma Aristoteles berintikan bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip dengan realitas, kecuali onomatope, disebut arbitrer atau non-ikonis. Kedua paradigma ini saling bertentangan, tetapi dipakai oleh peneliti dalam memecahkan masalah bahasa, misalnya tentang hakikat tanda bahasa.
Pada masa tertentu paradigma Plato banyak digunakan ahli bahasa untuk memecahkan masalah linguistik. Penganut paradigma Plato ini disebut kaum naturalis. Mereka menolak gagasan kearbitreran. Pada masa tertentu lainnya paradigma Aristoteles digunakan mengatasi masalah linguistik. Penganut paradigma Aristoteles disebut kaum konvensionalis. Mereka menerima adanya kearbiteran antara bahasa dengan realitas.
Pertentangan antara kedua paradigma ini terus berlangsung sampai abad 20. Di bidang linguistik dan semiotika dikenal tokoh Ferdinand de Saussure sebagai penganut paradigma .Aristoteles dan Charles S. Peirce sebagai penganut paradigma Plato. Mulai dari awal abad 19 sampai tahun 1960-an paradigma Aristoteles yang diikuti Saussure yang berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer digunakan dalam memecahkan masalah-masalah linguistik. Tercatat beberapa nama ahli linguistik seperti Bloomfield dan Chomsky yang dalam pemikirannya menunjukkan pengaruh Saussure dan paradigma Aristoteles. Menjelang pertengahan tahun 60-an dominasi paradigma Aristoteles mulai digoyahkan oleh paradigma Plato melalui artikel R. Jakobson "Quest for the Essence of Language" (1967) yang diilhami oleh Peirce. Beberapa nama ahli linguistik seperti T. Givon, J. Haiman, dan W. Croft tercatat sebagai penganut paradigma Plato.

IV. Cakupan dan Kemaknawian Ilmu Bahasa

            Secara umum, bidang ilmu bahasa dibedakan atas linguistik murni dan linguistik terapan. Bidang linguistik murni mencakup fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Sedangkan bidang linguistik terapan mencakup pengajaran bahasa, penerjemahan, leksikografi, dan lain-lain. Beberapa bidang tersebut dijelaskan dalam sub-bab berikut ini.
4. 1 Fonetik
            Fonetik mengacu pada artikulasi bunyi bahasa. Para ahli fonetik telah berhasil menentukan cara artikulasi dari berbagai bunyi bahasa dan membuat abjad fonetik internasional sehingga memudahkan seseorang untuk mempelajari dan mengucapkan bunyi yang tidak ada dalam bahasa ibunya. Misalnya dalam bahasa Inggris ada perbedaan yang nyata antara bunyi tin dan thin, dan antara they dan day, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak. Dengan mempelajari fonetik, orang Indonesia akan dapat mengucapkan kedua bunyi tersebut dengan tepat.
            Abjad fonetik internasional, yang didukung oleh laboratorium fonetik, departemen linguistik, UCLA, penting dipelajari oleh semua pemimpin, khususnya pemimpin negara. Dengan kemampuan membaca abjad fonetik secara tepat, seseorang dapat memberikan pidato dalam ratusan bahasa. Misalnya, jika seorang pemimpin di Indonesia mengadakan kunjungan ke Cina, ia cukup meminta staf-nya untuk menerjemahkan pidatonya ke bahasa Cina dan menulisnya dengan abjad fonetik, sehingga ia dapat memberikan pidato dalam bahasa Cina dengan ucapan yang tepat. Salah seorang pemimpin yang telah memanfaatkan abjad fonetik internasional adalah Paus Yohanes Paulus II. Ke negara manapun beliau berkunjung, beliau selalu memberikan khotbah dengan menggunakan bahasa setempat. Apakah hal tersebut berarti bahwa beliau memahami semua bahasa di dunia? Belum tentu, namun cukup belajar fonetik saja untuk mampu mengucapkan bunyi ratusan bahasa dengan tepat.

4. 2 Fonologi
            Fonologi mengacu pada sistem bunyi bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris, ada gugus konsonan yang secara alami sulit diucapkan oleh penutur asli bahasa Inggris karena tidak sesuai dengan sistem fonologis bahasa Inggris, namun gugus konsonan tersebut mungkin dapat dengan mudah diucapkan oleh penutur asli bahasa lain yang sistem fonologisnya terdapat gugus konsonan tersebut. Contoh sederhana adalah pengucapan gugus ‘ng’ pada awal kata, hanya berterima dalam sistem fonologis bahasa Indonesia, namun tidak berterima dalam sistem fonologis bahasa Inggris. Kemaknawian utama dari pengetahuan akan sistem fonologi ini adalah dalam pemberian nama untuk suatu produk, khususnya yang akan dipasarkan di dunia internasional. Nama produk tersebut tentunya akan lebih baik jika disesuaikan dengan sistem fonologis bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional.

4. 3 Morfologi
            Morfologi lebih banyak mengacu pada analisis unsur-unsur pembentuk kata. Sebagai perbandingan sederhana, seorang ahli farmasi (atau kimia?) perlu memahami zat apa yang dapat bercampur dengan suatu zat tertentu untuk menghasilkan obat flu yang efektif; sama halnya seorang ahli linguistik bahasa Inggris perlu memahami imbuhan apa yang dapat direkatkan dengan suatu kata tertentu untuk menghasilkan kata yang benar. Misalnya akhiran -­en dapat direkatkan dengan kata sifat dark untuk membentuk kata kerja darken, namun akhiran -­en tidak dapat direkatkan dengan kata sifat green untuk membentuk kata kerja. Alasannya tentu hanya dapat dijelaskan oleh ahli bahasa, sedangkan pengguna bahasa boleh saja langsung menggunakan kata tersebut. Sama halnya, alasan ketentuan pencampuran zat-zat kimia hanya diketahui oleh ahli farmasi, sedangkan pengguna obat boleh saja langsung menggunakan obat flu tersebut, tanpa harus mengetahui proses pembuatannya.

4. 4 Sintaksis
            Analisis sintaksis mengacu pada analisis frasa dan kalimat. Salah satu kemaknawiannya adalah perannya dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Beberapa teori analisis sintaksis dapat menunjukkan apakah suatu kalimat atau frasa dalam suatu peraturan perundang-undangan bersifat ambigu (bermakna ganda) atau tidak. Jika bermakna ganda, tentunya perlu ada penyesuaian tertentu sehingga peraturan perundang-undangan tersebut tidak disalahartikan baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

4. 5 Semantik
            Kajian semantik membahas mengenai makna bahasa. Analisis makna dalam hal ini mulai dari suku kata sampai kalimat. Analisis semantik mampu menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, setiap kata yang memiliki suku kata ‘pl’ memiliki arti sesuatu yang datar sehingga tidak cocok untuk nama produk/benda yang cekung. Ahli semantik juga dapat membuktikan suku kata apa yang cenderung memiliki makna yang negatif, sehingga suku kata tersebut seharusnya tidak digunakan sebagai nama produk asuransi. Sama halnya dengan seorang dokter yang mengetahui antibiotik apa saja yang sesuai untuk seorang pasien dan mana yang tidak sesuai.
4. 6 Pengajaran Bahasa
Ahli bahasa adalah guru dan/atau pelatih bagi para guru bahasa. Ahli bahasa dapat menentukan secara ilmiah kata-kata apa saja yang perlu diajarkan bagi pelajar bahasa tingkat dasar. Para pelajar hanya langsung mempelajari kata-kata tersebut tanpa harus mengetahui bagaimana kata-kata tersebut disusun. Misalnya kata-kata dalam buku-buku Basic English. Para pelajar (dan guru bahasa Inggris dasar) tidak harus mengetahui bahwa yang dimaksud Basic adalah B(ritish), A(merican), S(cientific), I(nternational), C(ommercial), yang pada awalnya diolah pada tahun 1930an oleh ahli linguistik C. K. Ogden. Pada masa awal tersebut, Basic English terdiri atas 850 kata utama.
Selanjutnya, pada tahun 1953, Michael West menyusun General Service List yang berisikan dua kelompok kata utama (masing-masing terdiri atas 1000 kata) yang diperlukan oleh pelajar untuk dapat berbicara dalam bahasa Inggris. Daftar tersebut terus dikembangkan oleh berbagai universitas ternama yang memiliki jurusan linguistik. Pada tahun 1998, Coxhead dari Victoria University or Wellington, berhasil menyelesaikan suatu proyek kosakata akademik yang dilakukan di semua fakultas di universitas tersebut dan menghasilkan Academic Wordlist, yaitu daftar kata-kata yang wajib diketahui oleh mahasiswa dalam membaca buku teks berbahasa Inggris, menulis laporan dalam bahasa Inggris, dan tujuannya lainnya yang bersifat akademik.
            Proses penelitian hingga menjadi materi pelajaran atau buku bahasa Inggris yang bermanfaat hanya diketahui oleh ahli bahasa yang terkait, sedangkan pelajar bahasa dapat langung mempelajari dan memperoleh manfaatnya. Sama halnya dalam ilmu kedokteran, proses penelitian hingga menjadi obat yang bermanfaat hanya diketahui oleh dokter, sedangkan pasien dapat langsung menggunakannya dan memperoleh manfaatnya.

4. 7 Leksikografi
            Leksikografi adalah bidang ilmu bahasa yang mengkaji cara pembuatan kamus. Sebagian besar (atau bahkan semua) sarjana memiliki kamus, namun mereka belum tentu tahu bahwa penulisan kamus yang baik harus melalui berbagai proses.
Dua nama besar yang mengawali penyusunan kamus adalah Samuel Johnson (1709-1784) dan Noah Webster (1758-1843). Johnson, ahli bahasa dari Inggris, membuat Dictionary of the English Language pada tahun 1755, yang terdiri atas dua volume. Di Amerika, Webster pertama kali membuat kamus An American Dictionary of the English Language pada tahun 1828, yang juga terdiri atas dua volume. Selanjutnya, pada tahun 1884 diterbitkan Oxford English Dictionary yang terdiri atas 12 volume.
Saat ini, kamus umum yang cukup luas digunakan adalah Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Mengapa kamus Oxford? Beberapa orang mungkin secara sederhana akan menjawab karena kamus tersebut lengkap dan cukup mudah dimengerti. Tidak banyak yang tahu bahwa (setelah tahun 1995) kamus tersebut ditulis berdasarkan hasil analisis British National Corpus yang melibatkan cukup banyak ahli bahasa dan menghabiskan dana universitas dan dana negara yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, definisi yang diberikan dalam kamus tersebut seharusnya dapat mudah dipahami oleh pelajar karena semua entri dalam kamus tersebut hanya didefinisikan oleh sekelompok kosa kata inti. Bagaimana kosa-kata inti tersebut disusun? Tentu hanya ahli bahasa yang dapat menjelaskannya, sedangkan para sarjana dan pelajar dapat langsung saja menikmati dan menggunakan berbagai kamus Oxford yang ada dipasaran.

V. Penutup

Penelitian bahasa sudah dimulai sejak abad ke 6 SM, bahkan perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan sudah dibangun sejak awal abad 3 SM di kota Alexandria. Kamus bahasa Inggris, Dictionary of the English Language, yang terdiri atas dua volume, pertama kali diterbitkan pada tahun 1755; dan pada tahun 1884 telah diterbitkan Oxford English Dictionary yang terdiri atas 12 volume. Antara 1820-1870 para ahli linguistik berhasil membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologisnya.
Salah satu buku awal yang menjelaskan mengenai ilmu bahasa adalah buku An Introduction to Linguistic Science yang ditulis oleh Bloomfield pada tahun 1914. Jurnal ilmiah internasional ilmu bahasa, yang berjudul International Journal of American Linguistics, pertama kali diterbitkan pada tahun 1917.
Ilmu bahasa terus berkembang dan semakin memainkan peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan semakin majunya program pascasarjana bidang linguistik di berbagai universitas terkemuka (UCLA, MIT, Oxford, dll). Buku-buku karya ahli bahasa pun semakin mendapat perhatian. Salah satu buktinya adalah buku The Comprehensive Grammar of the English Langauge, yang terdiri atas 1778 halaman, yang acara peluncurannya di buka oleh Margareth Thatcher, pada tahun 1985. Respon yang luar biasa terhadap buku tersebut membuatnya dicetak sebanyak tiga kali dalam tahun yang sama. Buku tata bahasa yang terbaru, The Cambridge Grammar of the English Language, tahun 2002, yang terdiri atas 1842 halaman, ditulis oleh para ahli bahasa yang tergabung dalam tim peneliti internasional dari lima negara.


Pustaka Acuan
Robins, R.H. 1990. A Short History of Linguistics. London: Longman.
Fromkin, Victoria & Robert Rodman. 1998. An Introduction to Language (6th Edition). Orlando: Harcourt Brace College Publishers.
Hornby, A.S. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary (5th edition). Oxford: Oxford University Press.
Matthews, Peter. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford University Press.






Penelitian Deskriptif


Metode deskripsi adalah suatu metode dalam penelitian status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.
Whitney (1960) berpendapat, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.

Dalam metode deskriptif, peneliti bisa saja membandingkan fenomena-fenomena tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif. Adakalanya peneliti mengadakan klasifikasi, serta penelitian terhadap fenomena-fenomena dengan menetapkan suatu standar atau suatu norma tertentu, sehingga banyak ahli meamakan metode ini dengan nama survei normatif (normatif survei). Dengan metode ini juga diselidiki kedudukan (status) fenomena atau faktor dan memilih hubungan antara satu faktor dengan faktor yang lain. Karenanya mentode ini juga dinamakan studi kasus (status study).

Metode deskriptif juga ingin mempelajari norma-norma atau standar-standar sehingga penelitian ini disebut juga survei normatif. Dalam metode ini juga dapat diteliti masalah normatif bersama-sama dengan masalah status dan sekaligus membuat perbandingan-perbandingan antarfenomena. Studi demikian dinamakan secara umum sebagai studi atau penelitian deskritif. Perspektif waktu yang dijangkau, adalah waktu sekarang atau sekurang-kurangnya jangka waktu yang masih terjangkau dalam ingatan responden.

Tujuan
Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.
Ciri-ciri Metode Deskriptif
·        Untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka.(secara harafiah)
·         Mencakup penelitian yang lebih luas di luar metode sejarah dan eksperimental.
·         Secara umum dinamakan metode survei.
·  Kerja peneliti bukan saja memberi gambaran terhadap fenomena-fenomena, tetapi :menerangkan hubungan,  menguji hipotesis-hipotesis,  membuat prediksi, mendapatkan makna, dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan
·         Mengumpulkan data dengan teknik wawancara dan menggunakan schedule questionair/interview guide.

Jenis-jenis Penelitian Deskriptif
Ditinjau dari segi masalah yang diselidiki, teknik dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu, penelitian ini dapat dibagi atas beberapa jenis, yaitu:
·          Metode survei,
·         Metode deskriptif berkesinambungan (continuity descriptive),
·         Penelitian studi kasus
·         Penelitian analisis pekerjaan dan aktivitas,
·         Penelitian tindakan (action research),
·         Peneltian perpustakaan dan dokumenter.
Kriteria Pokok Metode Deskriptif
Metode deskriptif mempunyai beberapa kriteria pokok, yang dapat dibagi atas kriteria umum dan khusus. Kriteria tersebut sebagai berikut:
1. kriteria umum
·         Masalah yang dirumuskan harus patut, ada nilai ilmiah serta tidak terlalu luas.
·         Tujuan penelitian harus dinyatakan dengan tegas dan tidak terlalu umum
·         Data yang digunakan harus fakta-fakta yang terpercaya dan bukan merupakan opini.
·         Standar yang digunakan untuk membuat perbandingan harus mempunyai validitas.
·         Harus ada deskripsi yang terang tentang tempat serta waktu penelitian dilakukan.
·         Hasil penelitian harus berisi secara detail yang digunakan, baik dalam mengumpulkan data maupun dalam menganalisis data serta serta study kepustakaan yang dilakukan. Deduksi logis harus jelas hubungannya dengan kerangka teoritis yang digunakan jika kerangka teoritis untukitu telah dikembangkan.

2. Kriteria Khusus
·         Prinsip-prinsip ataupun data yang digunakan dinyatakan dalam nilai (value).
·         Fakta-fakta atupun prinsip-prinsip yang digunakan adalah mengenai masalah status
·         Sifat penelitian adalah ex post facto, karena itu, tidak ada kontrol terhadap variabel, dan peneliti tidak mengadakan pengaturan atau manupulasi terhadap variabel. Variabel dilihat sebagaimana adanya.
Langkah-langkah Umum dalam Metode Deskriptif
Dalam melaksanakan penelitian deskripif, maka langkah-langkah umum yang sering diikuti adalah sebagai berikut:
  •       Memilih dan merumuskan masalah yang menghendaki konsepsi ada kegunaan masalah tersebut serta dapat diselidiki dengan sumber yang ada.
  •        Menentukan tujuan dari penelitian yang akan dikerjakan. Tujuan dari penelitian harus konsisten dengan rumusan dan definisih dari masalah.
  •      Menelusuri sumber-sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan.
  •          Merumuskan hipotesis-hipotesis yang ingin diuji baik secara eksplisit maupun implisit.
  •        Melakukan kerja lapangan untuk mengumpulkan data, gunakan teknik pengumpulan data yang cocok untuk penelitian.
  •       Membuat tabulasi serta analisis statistik dilakukan terhadap data yang telah dikumpulkan. Kuranggi penggunaan statistik sampai kepada batas-batas yang dapat dikerjakan dengan unit-unit pengukuran yang sepadan.
  •         Memberikan interpretasi dari hasil dalam hubungannya dengan kondisi sosial yang ingin diselidiki serta dari data yang diperoleh dan referensi khas terhadap masalah yang ingin dipecahkan.
  •         Mengadakan generalisasi serta deduksi dari penemuan serta hipotesis-hipotesis yang ingin diuji. Berikan rekomendasi-rekomendasi untuk kebijakan yang dapat ditarik dari penelitian.
  •          Membuat laporan penelitian dengan cara ilmiah.



Pada bidang ilmu yang telah mempunyai teori-teori yang kuat, maka perlu dirumuskan kerangka teori atau kerangka konseptual yang kemudian diturunkan dalam bentuk hipotesis-hipotesis untuk diverivikasikan. Bagi ilmu sosial yang telah berkembang baik, maka kerangka analisis dapat dijabarkan dalam bentuk-bentuk model matematika.

Tulisan Lainnya:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *